Rabu , 17 September 2025
Home / NASIONAL / Di Balik Angka APBN 2026, Cornelis: Harus Berpihak ke Rakyat Kecil

Di Balik Angka APBN 2026, Cornelis: Harus Berpihak ke Rakyat Kecil

Dr. (H.C) Drs. Cornelis, MH (ist)

 

KALIMANTAN TODAY, PONTIANAK – Bayangkan seorang ibu di pelosok Provinsi Kalimantan Barat, bangun sebelum subuh, menumbuk beras sisa, menyiapkan bekal anaknya yang harus menyeberangi sungai demi ke sekolah.

Di saat yang sama, di ruang ber-AC Senayan, angka triliunan rupiah digulirkan dalam dokumen bernama APBN 2026. Jaraknya jauh. Tapi nasibnya? Harusnya bersentuhan.

Inilah inti dari “Pendapat Mini” Fraksi PDI Perjuangan DPR RI atas Rancangan Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2026. Bukan sekadar pernyataan politik.

Ini adalah manifesto moral. Sebuah komitmen bahwa uang negara bukan untuk pamer proyek, bukan untuk memperkaya kroni, bukan untuk menggembungkan laporan tanpa dampak.

Tapi untuk ibu itu. Untuk anaknya. Untuk jutaan wajah yang tak pernah muncul di infografis kementerian.

Anggota Panitia Kerja (Panja) Badan Anggaran DPR RI, Dr. (H.C) Drs Cornelis MH menyampaikannya dengan nada yang tak bisa ditawar.

“PDI-P bela rakyat kecil, ucapnya mengingatkan tegas.

Ini bukan retorika. Ini janji. Janji yang ditulis di atas kertas anggaran, tapi harus diukir di atas tanah, di sekolah, di puskesmas, di sawah, di warung-warung kecil.

Tiga Pilar: Adil, Cerdas, Nyata

1.⁠ ⁠ADIL, Prinsip Dasar Tak Boleh Ditawar

APBN 2026 harus berjalan di atas rel keadilan. Bukan hanya adil dalam pembagian, tapi adil dalam dampak. Fraksi PDI Perjuangan menegaskan pertumbuhan ekonomi tak boleh jadi angka statistik yang mengambang di atas kepala rakyat.

Inflasi harus dikendalikan bukan demi rating BI, tapi demi harga beras yang tak melambung. Investasi harus naik bukan demi laporan FDI, tapi demi lapangan kerja yang nyata mengurangi pengangguran.

“Pertumbuhan inklusif,” begitu mereka menyebutnya. Artinya, jika ekonomi tumbuh 5 persen, maka 5 persen itu harus dirasakan oleh tukang ojek, petani garam, buruh pabrik, dan penjual cilok.

Bukan hanya oleh pemilik pabrik atau pemegang saham. Ini bukan sosialisme. Ini keadilan konstitusional. Pasal 33 UUD 1945 bukan hiasan dinding. Ia harus jadi denyut nadi setiap rupiah yang dikeluarkan.

2.⁠ ⁠CERDAS, Anggaran Bekerja, Bukan Sekadar Dibelanjakan

Ini poin yang sering dilupakan: belanja pemerintah harus berprestasi. Bukan sekadar “habis”, tapi “berhasil”. Bukan sekadar ada laporan fisik, tapi ada perubahan nyata.

Program Makan Bergizi Gratis, misalnya, jangan jadi proyek bagi-bagi makanan instan. Tapi jadi game changer meningkatkan kualitas gizi anak, memberdayakan petani lokal, menggerakkan UMKM pangan, dan menciptakan efek domino ekonomi mikro.

Cornelis tak main-main. “Bukan hanya output kegiatan, laporan dan dokumen.” Artinya, jika anggaran pendidikan 20 persen dipakai, maka ukurannya bukan berapa sekolah yang dibangun, tapi berapa anak miskin yang bisa lulus SMA, berapa guru honorer yang diangkat, berapa kurikulum yang relevan dengan dunia kerja. Anggaran harus cerdas. Harus punya KPI yang menyentuh manusia, bukan spreadsheet.

3.⁠ ⁠NYATA, Dari Jakarta ke Desa Terpencil

Dengan berkurangnya kapasitas keuangan daerah, pemerintah pusat diingatkan jangan biarkan daerah tertinggal. Program kementerian harus tetap menyentuh Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Pulau Rote. Tak boleh ada “pembangunan selektif” yang hanya fokus di Jawa atau kota besar. APBN 2026 harus jadi jembatan, bukan tembok.

“Setiap rupiah harus memberi jalan kemakmuran,” tegas legislator Fraksi PDI Perjuangan asal Provinsi Kalimantan Barat ini. Makmur bukan berarti kaya raya. Tapi cukup makan, cukup sekolah, cukup sehat, cukup aman. Itu makmur versi rakyat kecil. Dan itu yang harus dikejar.

Bahaya di Balik Angka

Di balik angka-angka megah APBN, ada bahaya yang mengintai. Fraksi PDI Perjuangan tak hanya bicara idealisme. Mereka juga bicara risiko. Dua kata kunci, SAL dan SBN.

SAL (Sisa Anggaran Lebih) yang besar bukan prestasi. Itu kegagalan. Artinya, program tak jalan, anggaran tak terserap, rakyat tak tersentuh. Tapi SAL besar juga berarti biaya bunga besar di tahun depan. Utang menumpuk. Fiskal terbebani. Lingkaran setan.

Lalu SBN (Surat Berharga Negara). Alat pembiayaan yang sah, tapi bisa jadi pisau bermata dua. Jika diterbitkan berlebihan, ia bisa menghisap likuiditas perbankan, membuat kredit macet, dan mematikan usaha kecil.

Pemerintah diminta “berhati-hati sampai batas tertentu”. Artinya: jangan rakus. Jangan gadaikan masa depan hanya demi angka pertumbuhan semu.

Ini bukan soal teknis akuntansi. Ini soal etika fiskal. APBN adalah uang rakyat. Bukan uang pemerintah. Bukan uang partai. Bukan uang konglomerat.

Di ruang rapat yang dingin oleh pendingin ruangan, suara Dr. Cornelis terdengar bagai denting lonceng jauh dari tepian hutan Kalbar.

Ia lahir di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, tumbuh di tanah yang jarang terjamah peta kekuasaan, membawa jejak lumpur sawah dan arus sungai yang tak pernah kering.

Ketika ia bicara soal anggaran, yang hadir bukan sekadar angka, melainkan wajah-wajah petani yang menunggu pupuk, anak-anak sekolah yang menanti buku, ibu-ibu yang menakar beras hingga tetes terakhir.

“Setiap kebijakan harus berlandaskan transparansi, kepatutan, dan manfaat langsung bagi rakyat,” ucapnya tegas.

Bukan sekadar persetujuan prosedural, melainkan janji yang dibasuh air mata, bahwa anggaran bukan milik gedung tinggi di Jakarta, melainkan hak orang-orang di pinggiran yang setiap hari berjuang untuk hidup.

Di mata Cornelis, setiap rupiah adalah denyut nadi kampungnya denyut yang harus terus berdetak agar rakyat tak lagi menjadi bayang-bayang di negeri sendiri.

Itu adalah syarat moral. Persetujuan dengan catatan panjang bahwa pemerintah harus taat, efisien, transparan, dan berpihak pada yang lemah.

Ia mengingatkan, APBN bukan angka. Ia adalah napas. Napas pendidikan yang harus mencerdaskan. Napas kesehatan yang harus menyehatkan.

Napas ekonomi yang harus menghidupi. Jika napas itu sesak di desa, maka APBN gagal. Titik.

Soal APBN 2026

Kita sering lupa. APBN adalah kontrak sosial. Kontrak antara negara dan rakyat. Rakyat bayar pajak, negara berikan layanan.

Tapi kontrak itu sering dilanggar. Anggaran dikorupsi. Proyek mangkrak. Guru tak digaji. Jalan desa tak diperbaiki. Anak gizi buruk tak ditangani.

Fraksi PDI Perjuangan, lewat “Pendapat Mini” ini, sedang menagih kontrak itu. Mereka tak hanya bicara di ruang sidang.

Mereka bicara atas nama ibu-ibu di pasar, bapak-bapak di sawah, anak-anak di sekolah pinggiran. Mereka bilang, “Uang ini milik mereka. Jangan khianati.”

Ini bukan retorika politik. Ini panggilan nurani. Di tengah tekanan global, resesi mengintai, ketimpangan menganga, APBN 2026 harus jadi tameng, bukan pedang. Harus jadi obat, bukan racun. Harus jadi jalan, bukan jurang.

Perihal Tinta Anggaran

APBN 2026 bukan dokumen mati. Ia adalah peta jalan. Peta yang menentukan apakah Indonesia akan jadi negara yang adil, atau negara yang makin terbelah. Apakah rakyat kecil akan tersenyum, atau makin tertunduk.

Fraksi PDI Perjuangan telah meletakkan tonggaknya transparansi, keadilan, manfaat nyata, dan perlindungan bagi yang lemah. Tinggal pemerintah yang harus menjawab, apakah mereka akan menepati?

Karena di ujung tahun 2026 nanti, kita tak akan diingat karena angka pertumbuhan 5,2 persen. Tapi karena berapa anak yang tak kelaparan.

Berapa petani yang sejahtera. Berapa desa yang listriknya menyala. Berapa guru yang gajinya cukup.

Itu ukuran sejati APBN. Itu ukuran sejati keberhasilan negara. Dan itu, yang akan ditagih oleh sejarah.(*)

Tentang Kalimantan Today

Cek Juga

Gubernur Ria Norsan Sambangi Kampung Dakwah Sukamaju di Kapuas Hulu

  KALIMANTAN TODAY, KAPUAS HULU – Wakil Bupati Kapuas Hulu Sukardi, S. M mendampingi Gubernur …