
KALIMANTAN TODAY, JAKARTA – Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan Komisi Pemilihan Umum selama lima tahun adalah langkah mundur demokrasi.
Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati sangat menyayangkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 731 Tahun 2025 tersebut karena dinilai semakin jauh dari transparansi dan akuntabilitas publik.
Menurut Neni, keputusan tersebut bukan sekedar keliru secara hukum, tetapi juga berbahaya secara politik. Dengan menutup dokumen seperti daftar riwayat hidup, profile singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon, laporan harta kekayaan (LHKPN) serta surat keterangan lainnya,
KPU secara efektif mengunci akses publik terhadap informasi vital yang menentukan integritas calon pemimpin bangsa.
Hal ini juga bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menjamin hak setip orang untuk memperoleh informasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang terbuka dan transparan.
Badan publik seperti KPU wajib menyediakan informasi apalagi berkaitan dengan hal krusial seperti terkait dengan rekam jejak calon pemimpin.
“KPU tidak boleh berlindung di balik alasan perlindungan data pribadi untuk menutup dokumen publik yang krusial. Menutupnya berarti mengunci hak rakyat untuk tahu dan melemahkan akuntabilitas pemilu. KPU adalah lembaga publik yang harus berintegritas, jangan sampai menjadi alat penguasa untuk kepentingan politik pragmatis,” tegas Neni Nur Hayati, Direktur DEEP Indonesia di Jakarta (16/9/2025).
Partai politik saja saat mendaftar ke KPU wajib menyerahkan dokumen terbuka yang bisa di akses publik. Jika dokumen parpol bisa dibuka, mengapa dokumen pribadi capres-cawapres justru dikunci? Seharusnya capres-cawapres tunduk pada standar dan keterbukaan yang sama.
DEEP Indonesia menilai dan menyatakan sikap sebagai berikut :
- DEEP menilai ada dugaan pelanggaran prinsip keterbukaan informasi. UU Komisi Informasi hanya membolehkan pengecualian terbatas, bukan menyapu semua dokumen sekaligus. Itu pun jika publik membutuhkan, maka informasi tersebut harus disampaikan kepada publik ;
- Mengunci demokrasi selama lima tahun, publik menjadi kehilangan momentum kritis untuk menguji calon tepat saat pemilu berlangsung ;
- Uji konsekuensi tanpa transparansi. KPU mengklaim sudah melakukan uji konsekuensi, tapi tidak membuka proses dan alasannya ke publik ;
- Menggerus kepercayaan publik. Semakin tertutup, semakin kuat kecurigaan publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan ;
- KPU tidak boleh menjadi alat penguasa. Sebagai penyelenggara pemilu yang independen, KPU wajib berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan kandidat tertentu. Menutup dokumen capres-cawapres justru memberi kesan KPU melindungi elit politik, bukan melayani publik.
“Atas dasar tersebut, DEEP Indonesia mendesak KPU untuk segera mencabut Keputusan 731/2025 dan mengantinya dengan regulasi baru yang lebih seimbang untuk melindungi data pribadi hanya yang bersifat sensitif, tetapi tidak bertentangan dengan hak publik mengakses dokumen dan informasi terkait integritas calon presiden dan wakil presiden. Tidak ada alasan menutup informasi yang menjadi hak publik. Demokrasi hanya bisa tumbuh dengan transparansi bukan menjadi ruang gelap dalam pemilu, Sebagaimana, “tutup Neni. (*)