Jumat , 1 Agustus 2025
Home / NEWS / Cornelis Ulang Tahun ke-72: Legenda Hidup yang Tak Lekang Waktu

Cornelis Ulang Tahun ke-72: Legenda Hidup yang Tak Lekang Waktu

 

KALIMANTAN TODAY, PONTIANAK – Pagi itu, Minggu 27Juli 2025 tiba-tiba terdengar suara membelah hening. Bukan suara teriakan, bukan pula sorak gegap gempita khas pesta. Ini adalah suara yang lahir dari hati, dari dada, dari pengakuan jujur: “72 years, Mr. Cornelis: of the living legend.”

Kalimat itu bukan sekadar ucapan selamat ulang tahun. Ia adalah deklarasi. Pengakuan kolektif dari mereka yang tahu betapa jauh jalan yang telah ditempuh oleh seorang anak pedalaman Kalimantan Barat ini.

Di tengah lingkaran manusia yang berdiri, memegang lilin, menatap kue ulang tahun, sosok Dr. (H.C.) Drs. Cornelis MH tersenyum. Senyum yang hangat. Senyum yang tahu betapa banyak darah, keringat, dan doa yang telah mengalir dalam perjalanannya.

Ia bukan lagi pemuda yang dulu berjalan kaki menembus hutan untuk sekolah. Ia bukan lagi pegawai yang digaji seadanya.

Ia kini adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Komisi XII, sosok yang duduk di garda depan pengambilan kebijakan ekonomi dan keuangan nasional.

Tapi yang menakjubkan—dan inilah yang membuatnya begitu istimewa ia tetap Cornelis.

Sama seperti yang dulu membantu petani, yang dulu duduk bersila di lantai rumah warga, yang dulu menangis bersama rakyat saat banjir melanda Kapuas Hulu.

Dari Hutan ke Senayan

Cornelis lahir di zaman ketika Kalimantan Barat masih dikenal sebagai wilayah terpencil, terisolasi, dan terlupakan. Tidak ada jalan aspal. Tidak ada listrik.

Tidak ada sinyal. Yang ada hanyalah hutan, sungai, dan semangat. Semangat yang kemudian menjadi tulang punggung hidupnya.

Ia tumbuh di tengah keluarga sederhana, dengan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan kerakyatan yang ditanamkan sejak kecil. Sekolah bukan hal yang mudah.

Ia harus berjalan berjam-jam, menyeberangi sungai, bahkan terkadang menghadapi hujan deras hanya untuk bisa duduk di bangku kelas. Tapi ia tak pernah menyerah.

Baginya, pendidikan bukan hanya jalan keluar dari kemiskinan, tapi jembatan menuju pengabdian.

Ia melihat anak-anak suku Dayak tak semua mampu menyentuh buku, kini bisa membaca dan menulis. Baginya, itu adalah kemenangan. Dan dari situlah benih kepemimpinannya tumbuh—bukan dari mimbar politik, tapi dari lantai kelas yang retak.

Namun, takdir membawanya ke panggung yang lebih besar. Ketika rakyat mulai mempercayainya, Cornelis masuk ke dunia politik.

Bukan dengan janji-janji bombastis, tapi dengan kerja nyata. Ia menjadi Bupati Landak dua periode, lalu Gubernur Kalimantan Barat juga dua periode.

Di masa kepemimpinannya, infrastruktur berkembang, pendidikan diperkuat, kesehatan diperluas. Ia tak pernah membanggakan prestasi tapi rakyat yang membicarakannya.

Dan kini, di usia 72 tahun, ia masih berdiri tegak di Senayan. Masih menjadi suara bagi yang tak bersuara.

Masih memperjuangkan anggaran untuk desa, untuk petani, untuk nelayan. Masih menolak kompromi dengan korupsi. Masih menolak menjadi bagian dari politik yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Legenda Hidup yang Tak Pernah Pudar

Apa artinya menjadi living legend? Bukan hanya soal usia, bukan hanya soal penghargaan, bukan hanya soal jabatan.

Menjadi legenda hidup berarti jejakmu masih terasa, suaramu masih didengar, dan hatimu masih dirasakan oleh rakyat.

Cornelis adalah contoh hidup dari itu. Ia tak membangun citra. Ia tak membeli popularitas. Ia hanya konsisten.

Konsisten pada prinsip. Konsisten pada rakyat. Konsisten pada nilai-nilai yang ditanamkan sejak kecil.

Di tengah budaya politik yang sering kali instan, pencitraan, dan pragmatis, Cornelis justru berjalan dengan langkah yang pasti.

Ia tak pernah terlihat di iklan kampanye yang gemerlap. Ia tak pernah membanjiri media sosial dengan foto-foto mewah. Ia hanya muncul saat dibutuhkan—saat banjir, saat kekeringan, saat rakyat butuh bantuan.

Dan hari itu, saat lilin kue ulang tahun dinyalakan, bukan hanya keluarga dan kerabat yang hadir. Namun Wakil Gubernur Kalbar Krisantus Kurniawan hingga Dirut Bank Kalbar H. Rokidi turut hadir mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung.

Mereka datang bukan karena diundang, tapi karena merasa harus datang.

Karena bagi mereka, Cornelis bukan sekadar pejabat. Ia dinilai sebagai simbol perjuangan rakyat Kalimantan Barat yang telah membumi.

72 Tahun Bukan Akhir, Tapi Lanjutan dari Perjalanan yang Belum Usai

Di usia 72, banyak orang mulai memikirkan pensiun, istirahat, menikmati masa tua. Tapi Cornelis? Ia masih datang ke kantor dipagi hari.

Masih bekerja hingga larut malam. Masih rajin turun ke daerah , meski dokter sudah menyarankan untuk lebih banyak istirahat.

“Saya belum selesai, saya harus terus melayani rakyat.”

Itulah filosofi hidupnya: melayani bukan karena jabatan, tapi karena panggilan jiwa.

Dan di tengah krisis kepercayaan publik terhadap politisi, Cornelis justru menjadi oase.

Ia membuktikan bahwa masih ada pejabat yang bisa dipercaya, yang tidak mencari keuntungan pribadi, yang masih memegang teguh amanah.

Tak heran, hari itu kue ulang tahun dinyalakan, tak hanya tepuk tangan yang terdengar. Ada juga air mata. Ada doa. Ada pengakuan bahwa dunia ini masih butuh lebih banyak Cornelis.

Cornelis dan Masa Depan Indonesia: Keteladanan yang Harus Ditularkan

Di tengah arus politik yang sering kali mengaburkan nilai, Cornelis adalah kompas. Ia mengingatkan kita bahwa kepemimpinan bukan soal popularitas, tapi soal integritas.

Bukan soal bagaimana kamu terlihat, tapi bagaimana kamu hadir di tengah rakyat.

Generasi muda politik perlu melihat Cornelis bukan hanya sebagai tokoh senior, tapi sebagai guru. Guru tentang keteguhan, tentang kerendahan hati, tentang cinta tanah air yang tulus.

Dan di usia 72 tahun, Cornelis justru menjadi simbol harapan. Bahwa usia bukan penghalang untuk terus berkontribusi.

Bahwa pengalaman bukan alasan untuk berhenti, tapi justru bekal untuk memimpin dengan lebih bijak.

Ia mungkin tak akan menjadi Presiden. Ia mungkin tak akan membangun gedung pencakar langit. Tapi yang ia bangun jauh lebih abadi: kepercayaan rakyat.

Dan itulah warisan terbesar yang bisa dimiliki seorang pemimpin.

Bagi Cornelis, 72 tahun bukan akhir. Ini adalah sebuah epik panjang yang tak pernah selesai.

Dan kita, rakyat Indonesia hanya bisa berbisik pelan: Terima kasih. Teruslah menjadi cahaya. (am)

Tentang Kalimantan Today

Cek Juga

Waspada Karhutla, Bupati Sanggau Ancam Sita Lahan Pemodal yang Manfaatkan Warga

  KALIMANTANTODAY, SANGGAU. Bupati Sanggau, Yohanes Ontot mewanti-wanti pemilik modal yang mencoba memanfaat masyarakat untuk …