
KALIMANTAN TODAY, SANGGAU – Di tengah gemerlap dunia yang kian terhubung secara digital, ada getaran lain yang justru lahir dari kedalaman bumi Kalimantan Barat.
Getaran itu bukan berasal dari gawai atau pesan daring, tetapi dari tetabuhan tradisional, dari langkah kaki yang dihitung dengan khidmat, dan dari bisikan daun-daun rimbun yang menjadi saksi sebuah upacara yang hampir terlupakan.
Di Desa Segole, Kabupaten Sanggau, waktu seperti berhenti sejenak. Di sana, pada sebuah hari yang penuh makna, Vitus dan Vanesha tidak hanya menyatukan janji suci di altar gereja, tetapi juga membenamkan diri dalam lautan adat leluhur Nomar Probaya, upacara pernikahan adat Suku Dayak Pompakng.
Keberadaan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, dalam acara tersebut bukan sekadar formalitas birokrasi.
Kehadirannya adalah simbol pengakuan, sebuah afirmasi bahwa dalam denyut nadi pembangunan, ada urat nadi budaya yang harus terus dipompa agar tidak mati.
Dia duduk bersama, menyaksikan setiap gerakan, mendengar setiap mantra, dan merasakan setiap hembusan nafas kebijaksanaan lokal yang ditawarkan para tetua adat.
Ini lebih dari sekadar pesta pernikahan; ini adalah sebuah deklarasi ketahanan budaya.

Makna Setiap Jejak
Prosesi Nomar Probaya adalah sebuah narasi perjalanan yang dalam. Ia dimulai dengan iring-iringan keluarga mempelai pria menuju rumah mempelai wanita.
Bukan dengan mobil mewah atau hiasan berlebihan, tetapi dengan membawa seserahan yang sarat filosofi hidup.
Setiap benda yang dibawa adalah sebuah kalimat dalam kitab kehidupan berumah tangga yang hendak mereka jalani.
Lotos (Lampu Pelita): Bukan sekadar penerang di kegelapan. Ia adalah simbol harapan bahwa dalam setiap kegelapan rumah tangga, selalu ada cahaya kebijaksanaan dan kehangatan yang akan menuntun mereka kembali.
Tombak Ikan: Bicara tentang keuletan. Sebagaimana tombak digunakan untuk mencari ikan di sungai yang berarus, kehidupan berumah tangga memerlukan ketekunan dan kemampuan untuk ‘berburu’ rezeki dan kebahagiaan.
Tilam dan Pakaian: Melambangkan kelembutan dan perlindungan. Tempat berlabuh setelah lelah berjuang, dan perlindungan dari terik dan hujan kehidupan.
Tempayan Tuak: Mungkin yang paling dalam maknanya. Tuak, yang sering disalahpahami, dalam konteks adat adalah simbol kebersamaan dan kejujuran. Ia diminum bersama dalam suka dan duka, mencairkan kebekuan, dan mengungkapkan kata-kata yang tulus dari hati.
Wagub Krisantus Kurniawan, dengan mata yang cermat, menyadari bahwa ini adalah sebuah living museum.
Sebuah museum hidup yang tidak memajang benda mati, tetapi mempraktikkan nilai-nilai yang nyaris punah.
“Saya melihat betapa kayanya budaya kita,” ujarnya, dengan nada yang tidak bisa menyembunyikan kekaguman sekaligus kekhawatiran.
Kekhawatiran bahwa “sangat sedikit sekali warga kita terutama suku Dayak” yang masih mau dan mampu melaksanakan rangkaian sakral ini setelah pemberkatan di gereja.

Pertaruhan Melawan Lupa
Apa yang dilakukan keluarga besar Vitus dan Vanesha, termasuk Paolus Hadi selaku anggota DPR RI dan orang tua, adalah sebuah pilihan berani.
Di era di mana segala sesuatu dituntut serba cepat dan instan, merangkai seluruh prosesi adat yang rumit dan memakan waktu adalah sebuah aksi perlawanan.
Perlawanan terhadap arus globalisasi yang menggerus identitas. Perlawanan terhadap lupa.
Pernikahan adat seperti ini adalah sekolah kehidupan yang paling nyata. Ia mengajarkan kepada pasangan muda itu bahwa membangun rumah tangga tidak dimulai dari membeli rumah atau merencanakan honeymoon.
Ia dimulai dari pengakuan dan penghormatan terhadap garis keturunan, dari meminta restu bukan hanya dengan kata, tetapi dengan seluruh ritual yang telah ditetapkan nenek moyang.
Upacara ini adalah sebuah ruang kelas raksasa di mana para tetua adat menjadi guru, dan seluruh keluarga besar serta masyarakat menjadi peserta didik yang diajak untuk mengingat kembali.
“Ini merupakan kegiatan yang mempersatukan dan semakin mendekatkan kekeluargaan,” tegas Wagub Wagub Krisantus Kurniawan.
Kalimat ini menyentuh esensi paling dasar dari Nomar Probaya. Ia adalah social glue, perekat sosial yang mengikat bukan hanya dua individu, tetapi dua keluarga besar, bahkan dua komunitas yang lebih luas.
Ia memastikan bahwa pondasi hubungan dibangun dengan kokoh, sehingga ketika badai rumah tangga datang, tidak hanya pasangan tersebut yang berdiri, tetapi seluruh jaringan keluarga yang siap menopang.
Doa untuk Masa Depan
Ucapan selamat dan doa yang disampaikan Wagub Krisantus Kurniawan melampaui harapan konvensional.
Doanya bukan hanya untuk kebahagiaan semata, tetapi untuk keberlanjutan dan kebermanfaatan.
“Semoga nanti akan melahirkan anak dan cucu… yang berguna bagi agama, orang tua serta nusa dan bangsa,” Wagub Krisantus Kurniawan menyampaikan doa tulus.
Ini adalah pesan berantai yang dalam. Pernikahan adat yang lestari hari ini akan melahirkan generasi yang tidak kehilangan akar.
Generasi yang memahami dari mana mereka berasal, sehingga tidak kebingungan menentukan ke mana mereka akan melangkah.
Anak cucu dari Vitus dan Vanesha diharapkan bukan hanya menjadi penerus darah, tetapi juga penerus estafet penjaga kebudayaan dan nilai-nilai luhur bangsanya.
Sebuah Refleksi Kolektif
Pernikahan adat Vitus dan Vanesha di Sanggau adalah lebih dari sekadar berita. Ia adalah cermin bagi kita semua.
Sejauh mana kita memegang teguh warisan leluhur di tengah gempuran modernitas? Seberapa besar usaha kita untuk melestarikan bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata?
Wagub Krisantus Kurniawan telah memberikan contoh bahwa pelestarian budaya memerlukan komitmen multi-level.
Tidak hanya dari masyarakat adat itu sendiri, tetapi juga dari pemangku kebijakan yang harus hadir, mengapresiasi, dan yang terpenting, membuat kebijakan yang memungkinkan tradisi seperti ini tetap hidup dan bernafas lega.
Acara itu akhirnya usai. Suara tetabuhan mungkin telah reda, sirih pinang telah disimpan, dan para tamu telah pulang. Namun, getarannya masih tersisa.
Getaran yang mengingatkan bahwa di balik kesibukan membangun infrastruktur fisik, kita harus membangun benteng budaya yang kokoh.
Vitus dan Vanesha telah menuliskan bab pertama kehidupan berumah tangga mereka dengan tinta adat yang paling berharga.
Kini, tugas kita bersama untuk memastikan bahwa tinta itu tidak kering dan pupus ditelan zaman.
Sehingga suatu hari nanti, anak-cucu kita masih bisa membaca, mempelajari, dan merasakan keagungan Nomar Probaya bukan sebagai cerita dongeng, tetapi sebagai sebuah tradisi yang tetap hidup dan relevan.
Pesan akhirnya jelas, melestarikan budaya bukanlah tentang membeku di masa lalu, tetapi tentang menggunakan kebijaksanaan masa lalu untuk menjalani masa kini dengan lebih baik dan mempersiapkan masa depan dengan lebih bijak.
Sebab, pada hari itu, Desa Segole, Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, semuanya terangkum dalam sebuah pernikahan yang indah. (*)