Oleh : Narwati
“Pandemi memang telah mengubah banyak hal. Membuat ekonomi kami anjlok. Dulu, kami bersemangat untuk produksi hasil dari laut kami, sekarang kami terpaksa banting setir. Kami terpaksa berhenti produksi karena untuk tembus pasar sudah tidak mampu, Ketua kelompok Cemara Laut, Desa Sungai Duri, Kecamatan Sungai Duri, Kabupaten Bengkayang.
Kelompok Cemara Laut di pesisir Utara, pantai Pansuma, dan pantai Jalan Lama, Sungai Duri tetap survive di tengah pandemi. Sejak pandemi melanda Indonesia, terutama desa mereka, penghasilan kelompok perempuan ini menurun, bahkan tidak lagi eksis. Namun masih ada asa untuk tetap bangkit, dan pulih kembali.
“Sirup ini bisa tahan dalam waktu yang lama. Tanpa pengawet,” kata Irsa Rosaria (34) sambil menyuguhkan sebotol sirup 250 mililiter hasil olahan buah mangrove yang tersisa di dalam kulkas.
Laiknya sirup lain, sirup ini mesti diseduh air. Merah muda, pekat dan asam manis, begitu penampakan, dan rasa pertamakali di lidah saat saya mencicipinya.
Sirup itu mungkin sudah hampir setahunan tersimpan di kulkas. Totalnya sekitar lima botol, sisa-sisa dari produksi Kelompok Cemara Laut yang tak habis terjual lantaran dihajar pandemi Covid-19.
Irsa adalah ketua kelompok tersebut. Beranggotakan hanya empat orang dari istri nelayan di Desa Sungai Duri, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang. Mereka mengupayakan potensi lokal untuk pendapatan mereka.
Pertemuan saya dengan Irsa pekan lalu mengantar cerita bagaimana kelompok ini terombang-ambing di tengah hantaman pandemi yang membuat pendapatan mereka menurun drastis bahkan nyaris mengeruk tabungan. Kisahnya merepresentasikan bagaimana kondisi kelompok ekonomi perempuan di desa Sungai Duri satu per satu tumbang tak mampu mempertahankan usaha mereka.
“Satu per satu hilang anggota kami, dan beralih mencari pendapatan lain,” kata Irsa sambil menegaskan ia adalah satu di antara yang terpaksa memutar otak agar kompor dapurnya tetap menyala.
Obrolan kami makin serius, seiring angin laut dan deru ombak di ujung pantai belakang rumah Irsa pecah berkali-kali. “Awal mula kelompok ini terbentuk sebenarnya karena korban abrasi,” kata Irsa melanjutkan obrolan.
Puluhan tahun lalu, di sepanjang bibir pantai Jalan Lama, desa ini mengalami abrasi yang cukup parah akibat penebangan mangrove untuk arang. Puncaknya, 2009 lalu. Sejumlah fasilitas umum seperti jalan, puskesmas, sekolah rusak parah. Rumah warga hancur, termasuk rumah Irsa yang dibangun hanya berjaraknya sekitar 50 meter dari pantai tersebut.
Kondisi tersebut ternyata berimbas pada perputaran ekonomi masyarakat desa pesisir utara pantai Kusuma pada waktu itu. Krisis ekonomi dialami masyarakat. Belum lagi para nelayan yang terpaksa menggantung jala lantaran ganasnya ombak laut, dan tangkapan ikan menurun drastis.
Saat itu, banyak warga yang terpaksa mengungsi. Bahkan tak sedikit yang memilih untuk pindah, mendirikan rumah yang jauh dari pantai. Setidaknya menghindari khawatiran saat musim pasang air laut. Tapi tidak untuk Irsa dan suaminya. Mereka terpaksa membangun kembali rumah mereka di tempat yang sama dengan sisa-sisa reruntuhan lantaran tak punya lahan lagi.
“Kami selalu merasa was-was. Terlebih saat terjadi air pasang dan gelombang tinggi. Tinggal di tepi pantai tak membuat aman,” kata Irsa.
Di tahun yang sama, kerusakan parah akibat abrasi ini mengundang kepedulian dari kelompok masyarakat. Satu di antaranya adalah Gabungan Anak Pantai Selatan (GAPSEL) yang menginisiasi penanaman mangrove dengan melibatkan masyarakat setempat
Perlahan-lahan mangrove itu tumbuh di sepanjang garis pantai. Setiap pagi Irsa selalu menikmati pemandangan itu dari pintu belakang rumahnya. Kekhawatiran Irsa dan suaminya perlahan-lahan hilang dari ancaman pasang surut air laut.
Penampakan yang menakjubkan itu ternyata mengundang penasaran Irsa. Terutama buah mangrove yang dipikirnya tak hanya bisa dimakan mentah tapi juga bisa diolah menjadi produk turunan.
Penasaran Irsa dijawabnya dengan sirup, yang didapatinya hasil eksperimen. Meski sempat gagal berkali-kali.
Modal inilah yang mendorong ia untuk membentuk kelompok yang diberi nama ‘Cemara Laut’ meski hanya beranggotakan empat orang yang semuanya adalah tetangga dekatnya dan istri para nelayan. Seiring waktu, bukan hanya sirup, buah mangrove ini diolahnya jadi dodol, jelly, dan steak.
Letak geografis desa yang berada di antara kota-kota besar dan perlintasan seperti Singkawang dan Pontianak menjadi potensi bagi Irsa dan kelompoknya untuk menjual produk ini. Keuntungan bersih bisa lebih Rp2 juta perbulannya.
“Hanya modal rajin memetik buah mangrove, air dan gula saja,” kata Irsa sembari menegaskan pendapatan ini tentu bermanfaat bagi keluarga di tengah pendapatan suami mereka sebagai nelayan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Berjalannya waktu, mereka mengurus semua legalitas produk. Hal ini semata untuk memperluas jaringan pasar.
Tiga tahun mereka bergelut dengan usaha itu. Pendapatan semakin meningkat seiring jaringan pasar meluas. Hingga pada awal 2020 pandemi mulai mewabah Indonesia. Terlebih, ketika diberlakukannya lockdown, dan pembatasan aktivitas masyarakat.
Pendapatan usaha kelompok menurun drastis lantaran daya beli dari masyarakat yang nyata mereka rasanya. Orderan hanya diterima hanya pada hari-hari tertentu, seperti Idul Fitri dan Natal. Itupun tak seberapa.
“Pandemi memang telah mengubah banyak hal. Membuat ekonomi kami anjlok. Dulu, kami bersemangat untuk produksi hasil dari laut kami, sekarang kami terpaksa banting setir. Kami terpaksa berhenti produksi karena untuk tembus pasar sudah tidak mampu,” kata Irsa.
Sementara tuntutan hidup terus memanggil. Biaya pendidikan anak, kesehatan dan biaya hidup sehari-hari perlu dipenuhi. Di lain sisi, pendapatan para suami mereka dari melaut juga tidak cukup.
Alternatifnya, para suami mereka menjadi pekerja serabutan. Ada yang menjadi buruh, yang gajinya diterima enam bulan sekali. Bahkan, kapal-kapal nelayan mereka terpaksa dijual.
Untuk tetap bertahan, para anggota Cemara Laut berjalan masing-masing. Mereka mulai bersiasat menjadi alternatif pendapatan yang bisa diusahakan. Satu di antaranya berjualan di tepian jalan berbagai makanan seperti Salak Pari, Ikan Asin, Pedak.
Nama yang disebut terakhir itu adalah udang kecil yang dipermentasi. Sayangnya, berbagai macam dagangan ini milik oranglain yang dijual kembali untuk mengambil sedikit keuntungan.
“Pokok semua makanan. Ada keripik, curpan, dan banyak lagi yang lain,” tuturnya.
Untungnya, mereka terbantu dengan fasilitas lapak yang disediakan oleh desa untuk pelaku UMKM. Irsa juga salah satu peneriman manfaat tersebut. Lapaknya berada di tepian jalan raya besar yang berjarak sekitar 15 menit dari rumah dengan berjalan kaki.
Sejak mengusahakan lapak ini, banyak waktu Irsa terpakai. Ia mesti membuka lapak jualan sejak pagi. Pulang tidak pulang nanti ketika sudah pukul 21.00 Wib.
“Capek sudah pasti ya. Walaupun sebagai ibu rumah tangga, kami juga harus bekerja. Tapi kadang merasa semua terpusat ke kami (perempuan) ketika pulang ternyata harus mengurus rumah juga. Jadi harus pandai-pandailah mengatur waktu,” ucapnya.
Saya diajak Irsa ke lapak jualannya. Di sana berjejer lapak-lapak lain yang lahir akibat tekanan pandemi. Hampir rata-rata dagangan mereka sama. Tapi, tidak ada persaingan bisnis yang mencolok. Mereka hanya bergantung pada takdir yang mengarahkan pembeli untuk mampir pada lapak milik siapa.
Di lokasi ini saya juga bertemu dengan Ningsih, perempuan Pesisir lainnya juga tengah bergelut dengan pandemi. Selain banyaknya persaingan juga minimnya pendampingan dari pemerintah. Pandemi banyak melahirkan usaha baru, tapi pada akhirnya hanya bertahan seumur jagung. Goncangan sana sini, apalagi minimnya pengetahuan perempuan tentang teknologi. Dan Penggunaan digital untuk UKM. “Faktornya banyak. Belum pernah di latih dan juga minat perempuan, terutama ibu-ibu kurang karena berbagai alasan, salah satunya sudah sibuk dengan urusan keluarga,” ucap Ningsih menegaskan, sehingga hal itulah kerap menjadi alasan untuk tidak sempat belajar.
Meskipun penghasilan sudah tak sama seperti sebelumnya. Ia tetap bertahan, untuk terus mengembangkan usahanya. Ia mulai belajar memanfaatkan marketplace, bekal yang ia terima pertama kali saat ikut pelatihan oleh Program Citradaya Nita 2021.
Ia mengolah makanan ringan, seperti ada keripik kelapa krispi, jelly pepaya, singkong pedas manis, stik bayam dan stik ubi jalar.
“Sebelum pandemi usaha kami lancar, tetapi semenjak pandemi jadi berkurang. Karena memang kita akui pemasaran kita masih kurang. Kita berharap dengannya ada pelatihan ini dapat menambah ilmu kami, dan bisa bermanfaat untuk kami kedepan,” ucapnya.
Selain Irsa, Ningsih ada juga Adriyati (42), ia mmebuka lapaknya di pinggir jalan penghubung antara kota Singkawang dan Kecamatan Sungai Raya. Hari itu, ia tengah bersantai sambil menjaga dagangannya di pinggir jalan raya tersebut. Meski barang yang dijualnya sama dengan lapak-lapak lain, tapi Adriyati mengaku dagangannya ini sebagain besar bergantung pada hasil tangkapan nelayan lantaran ia mengolah sendiri.
“Kalau cuaca tak bagus, banyak nelayan yang tak melaut. Itu artinya tak banyak yang bisa saya jual. Misalnya, cincalok. Karena udang itu ada musimnya juga,” tuturnya
Belum lagi soal daya beli masyarakat. Selama pandemi ini, pendapatannya tidak menentu bahkan cendrung menurun. Dalam sehari, paling banyak tiga sampai empat orang yang mampir di lapaknya.
Memberdayakan Perempuan Lainnya
SEYOGYANYA perempuan itu saling merangkul. Saling menguatkan, dan saling memberdayakan. Itulah yang menjadi dasar Aprianingrum, Ketua Kelompok UMKM Kecamatan Sungai Raya Kepulauan atau “Sentra Dodol Buah Jadoel” merekrut beberapa warga untuk mengelola buah jadul, hasil buminya.
Dia juga turut menceritakan bahwa kelompok UMKM pembuat dodol di wilayah tersebut merupakan gagasan dalam upaya menyelamatkan ekonomi masyarakat, yang dinilai merosot sejak dua tahun pandemi covid-19 menerpa. Usaha itu dilakukan lantaran melihat potensi sumber daya alam yang berada di sekitaran wilayah tersebut. Salah satu yang utama adalah pisang yang merupakan hasil perkebunan dari petani di wilayah setempat.
“Produk dodol dipilih karena kita melihat potensi pisang yang melimpah dari petani lokal. Untuk memaksimalkan potensi itu, kita dari kelompok UMKM Sungai Raya sebelumnya juga punya alternatif untuk menambah sumber penghasilan. Hingga akhirnya memutuskan untuk mengolah pisang-pisang tersebut menjadi olahan dodol yang tentunya menarik dan memiliki daya jual,” jelas Aprianingrum.
Hasil dari olahan pisang terbilang cukup baik. Terutama di tengah pandemi saat ini, sangatlah membantu ekonomi keluarga.
“Sampai saat ini hasilnya cukup baik. Terutama untuk menambah sumber penghasilan dan perekonomian masyarakat di Dusun Soga, Desa Karimunting, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan dan sekitarnya. Khususunya ditengah pandemi covid-19 yang masih melanda sampai saat ini,” pungkasnya.
UMKM Dodol Jadul ini bermula, karena melihat potensi petani setempat.
“Kita menamai produk kita dengan dodol jadoel. Ide usaha dodol timbul ini bermula saat kita melihat potensi kebun pisang milik petani setempat, sehingga kita mengambil langkah dengan membuat dodol traidisional lalu kita jual dengan harga relatif murah,” jelasnya.
Kendati demikian, dia memastikan meski dijual dengan harga murah tentunya produk yang ditawarkan tak memiliki kualitas murahan. Dia mengatakan bahwa produk yang dijual tersebut telah menggunakan bahan dasar yang baik.
“Untuk bahan dasar kita gunakan pisang dengan kualitas baik yang tentunya sudah matang untuk diolah menjadi dodol. Untuk menambah keunikannya, dodol yang kita buat kita buat krispi. Sehingga produk kita kaya akan rasa,” ucapnya.
Bahkan, kata dia, saat ini dodol jadoel sudah merambah ke berbagai varian rasa sebagai bentuk inovasi dari varian dodol yang awalnya hanya mengandalkan produk olahan pisang. Saat ini sudah ada dodol olahan dari berbagai jenis hasil pertanian masyarakat sekitar. Seperti labu, nanas, jagung, kacang hijau, durian, buah naga, hingga dodol mangrove. Perempuan-perempuan ini secara kreatif mengolah beragam jenis dodol sebagai jalur alternatif untuk menambah sumber penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan selama masa pandemi covid-19.
“Tentu kita bersyukur dengan perkembangan UMKM ini setidaknya dapat meringankan beban ekonomi masyarakat sekitar dimasa pandemi seperti saat ini. Kita saling membantulah disaat seperti ini,” terangnya.
Untuk hasil, UMKM perempuan ini bisa meraup omzet hingga 10 juta rupiah perbulannya.
Terpuruknya Pusat Ekonomi Pesisir Utara
ABRASI memang menjadi momok yang cukup menakutkan bagi sebagian warga pesisir utara Kalimantan Barat. Berdasarkan data pengamatan WWF-Indonesia tahun 2009, setidaknya terdapat 193 kilometer pesisir utara Kalimantan Barat yang terancam abrasi.
Satu di antara wilayah kritis tersebut terdapat di Desa Sungai Duri. Sejak terpapar abrasi sekitar 25-30 tahun yang lalu terlihat nyata dampak buruk terhadap perekonomian masyarakat setempat. Penangkapan ikan menurun drastis seiring kerusakan fasilitas umum dan hancurnya rumah warga akibat ganasnya ombak laut.
Dulu, kata Kepala Desa Sungai Duri, Rezza Herlambang, daratan sepanjang pesisir ini menjorok ke laut. Bahkan, ketika musim air laut surut, sekitar 40-an tahun yang lalu untuk menyeberang ke pulau-pulau yang jaraknya lebih dari dua kilometer di seberang pulau cukup berjalan kaki.
Menurutnya, di sepanjang garis pantai waktu itu ditumbuhi vegetasi mangrove dengan formasi lengkap termasuk bakau, api-api, nipah dan sebagainya. Ketika perkembangan daerah perlahan-lahan maju, desa Sungai Duri juga ikut berkembang menjadi kota pelabuhan yang disinggahi banyak kapal pedagang dari pulau Jawa dan Riau. Perkembangan itu yang belakangan ternyata memiliki dampak buruk terhadap keberadaan ekosistem mangrove.
“Jadi, mereka (pedagang dari luar) mulai membuat pemukiman baru. Bakau-bakau ditebang untuk kayu bakar dan keperluan usaha,” kata dia.
Alih fungsi lahan hingga penebangan bakau itu sedikit demi sedikit menyebabkan terjadinya degradasi pada mangrove yang selama ini menjadi benteng pelindung Desa Sungai Duri dan sekitarnya.
Akibatnya, terjadi bencana abrasi yang masif. Daratan yang hilang meliputi area seluas puluhan kilometer persegi, termasuk di dalamnya adalah perkebunan dan permukiman warga, fasilitas umum seperti jalan raya, sekolah, dan puskesmas.
Bencana ekologis itu membuat banyak warga terpaksa mengungsi. Bahkan, tak sedikit di antara mereka memilih untuk pindah. Meski begitu, dari kondisi itulah lahir komunitas GAPSEL.
GAPSEL ini merupakan kumpulan pemuda desa Sungai Duri yang rumahnya menjadi korban abrasi. Mereka mulai mengggagas gerakan tanam mangrove di sepanjang pesisir pantai. Tentu melibatkan masyarakat di sana.
“Tujuan awalnya memang murni untuk pelestarian serta mencegah abrasi,” kata Rezza yang juga salah satu anggota GAPSEL saat itu.
Desa Sungai Duri adalah salah satu desa terbesar di kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang. Luas wilayahnya mencakup 3.000 kilo meter persegi dengan jumlah penduduk hampir 13.000 jiwa.
Sebagian besar penduduk Desa Sungai Duri menggantungkan hidupnya sebagai nelayan penangkap ikan. Sebagian lagi mengusahakan lahan pertanian, perkebunan dan berdagang hasil laut dan pertanian.
Maka tak heran, bila desa ini dulu pernah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Terlebih letak geografisnya di antara kota-kota besar seperti Singkawang dan Pontianak.
Seiring waktu, GAPSEL kemudian bertranformasi menjadi Karang Taruna Akar Bahar agar keberadaannya diakui dan memiliki legalitas. Berbekal legalitas itulah, kelompok pemuda desa ini kemudian merambah ke bidang lain seperti sosial, olahraga dan UKM.
“Terbentuklah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Akar Bahar, dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Sabuk Mangrove untuk menggarap ekowisata mangrove di Sungai Duri,” ujar Rezza.
Pokmaswas bergerak di bidang pelestarian nya. Sedangkan Pokdarwis menggarap sektor pariwisata. Namun keduanya saling bekerjasama di bawah naungan Pemerintah Desa Sungai Duri.
Sediakan Bantuan
REZZA HERLAMBANG terpilih menjadi Kepala Desa Sungai Duri pada 2016 lalu. Mendekati akhir masa jabatannya, ia dituntut berinovasi untuk menyelamatkan masyarakatnya yang terimbas pandemi Covid-19. Terlebih, sejak pandemi melanda, daya beli masyarakat semakin menurun di tengah kondisi UMKM desanya baru mulai tumbuh.
Dia mengaku, terdapat beberapa kebijakan yang diambil pemerintah desanya. Pertama mengusulkan bantuan usaha mikro ke Dinas Koperasi, UKM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bengkayang. Lalu mengusulkan bantuan permodalan lain lewat program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari perbankan.
Selain itu, dua tahun belakangan ini, Desa Sungai Duri juga memberikan Bantuan Langsung Tunai dari Dana Desa untuk masyarakat terdampak Covid-19. Totalnya sebesar Rp.1,339 milyar yang dibagi pada 186 Keluarga Peneriman Manfaat (KPM).
Upaya lain, pihaknya telah mengambil langkah inisiatif menyediakan Galeri UMKM dan Produk khas Kabupaten Bengkayang di lokasi Sungai Duri Food Center (SDFC). Program Kelompok Usaha Peningkatan Kesejahteraan Keluarga (UP2K) PKK akan dilanjutkan. Selanjutnya, Bumdes akan menggandeng UMKM dalam hal packaging produk, Perpustakaan Desa Tunas Mandiri (yang sudah dilengkapi dengan Komputer dan akses internet) sebagai wadah untuk sumber informasi sekaligus Pasar Online bagi UMKM, dan sekaligus sebagai loket pendampingan Perizinan UMKM. Desa juga menyelenggarakan Pelatihan pelatihan lainnya seperti Manajemen Produksi, Manajemen Keuangan, Perizinan, Peningkatan Kualitas Produk Kuliner, akses permodalan dan sebagainya.
“Beberapa UMKM perempuan dibina secara khusus, dan galeri tersebut menjadi ruang kreatifitas serta inovasi UMKM desa,” ujar Rezza.
UMKM Desa Sungai Duri yang hampir rata-rata diisi oleh kelompok perempuan ini terus berjuang menampilkan berbagai jenis produk usaha, termasuk di sektor kuliner bernilai ekonomis di masa pandemi ini. Tak hanya itu, pengadaan berbagai pelatihan juga disokong untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pengelolaan UMKM.
Rezza menyimpan asa agar geliat UMKM di pesisir ini terus melambung. Paling tidak warganya bisa bertahan, dan bangkit melewati masa pandemi. Apalagi, ia punya cita-cita agar desa menjadi ‘Surga Belanja’ sebagai etalase perekonomian Kabupaten Bengkayang.
Realisasi KUR dan Digitalisasi UMKM
DI TAHUN 2021, Pemerintah Kabupaten Bengkayang menyediakan dana KUR setidaknya Rp76,1 milyar, di mana prioritas penerimanya adalah pelaku UMKM yang terdampak pandemi.
“Dana tersebut memang dianggarkan untuk keperluan KUR yang dikucurkan untuk pelaku UMKM, khusus di kabupaten Bengkayang,” kata Bupati Bengkayang, Sebastianus Darwis.
Darwis mengatakan, kucuran dana KUR tersebut sebagai langkah pemerintah Kabupaten Bengkayang untuk memulihkan pemerataan ekonomi masyarakat selama pandemi ini. Paling tidak, tidak ada UMKM yang terpaksa gulung tikar karena kekurangan modal.
Pada dasarnya, pelaku UMKM bisa melakukan pinjaman dana KUR maksimal Rp50 juta, dan akan disalurkan melalui berbagai lembaga perbankan di Kabupaten Bengkayang. Baik milik pemerintah maupun swasta.
“Yang jelas telah ditunjuk secara resmi oleh pemda Bengkayang,” tuturnya.
Selain menyediakan fasilitas Dana KUR, Pemkab Bengkayang melalui Dinas Koperasi UKM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga memfasilitasi peningkatan kapasitas digitalisasi bagi pelaku UMKM lewat berbagai pelatihan.
“Selama pandemi, perempuan tentu menanggung beban yang ganda. Mikir urusan keluarga, dan mengatur keuangan, termasuk harus bekerja untuk menambah penghasilan,” ujar Kepala Bagian Dinas Koperasi UKM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bengkayang, Yustina Ita Wurni.
Untuk mempersiapkan UMKM perempuan di Bengkayang, beberapa pelatihan kerap dilakukan oleh pihaknya sebagi persiapan menyonsog ekosistem digital pada tahun 2024.
Menurut dia, perempuan harus melek teknologi. Dengan begitu mereka siap bertarung dan mampu melihat peluang yang ada. Terlebih perempuan yang berada di wilayah pesisir. Ia mengatakan perempuan-perempuan ini mesti lebih kreatif dan inovatif dalam mendongkrak ekonomi keluarga.
Untuk bisa menarik para pembeli, kelompok UMKM kata dia harus mampu memanfaatkan teknologi dan media sosial yang ada. Pasalnya, potensi segmentasi pasar online lebih besar. Namun begitu, legalitas dan kemasan juga harus diperhatikan.
“Semoga UMKM di Kabupaten Bengkayang dapat tumbuh dan berkembang, sehingga mampu menopang perekonomian di daerah,” tuturnya.
Peran Perempuan dalam Pengelolaan SDA
PEREMPUAN memiliki peran besar dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Sayangnya, selama ini role model pengelolaan SDA justru banyak digunakan dengan eksploitatif yang berorientasi pada ekonomi. Di mana penerapannya hanya melibatkan segelintir orang, yang notabene menggunakan perspektif pria.
Berangkat dari hal itu, Direktur Lembaga Gemawan Kalbar, Laili Khairnur mengatakan ke depan diperlukann penguatan dimensi kesetaraan gender dalam hal pengelolaan SDA. Hal ini dibutuhkan untuk memastikan adanya peluang dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan SDA.
“Terutama untuk keikutsertaan atau partisipasi kelompok perempuan dalam pengelolaan SDA. Mulai dari tahap perencanaan, implementasi dan monitoring dan evaluasi. Hal ini untuk memastikan kelompok perempuan terlibat mulai dari proses perencanaan hingga keputusan,” tegasnya.
Di samping itu, dia juga mengatakan setiap kelompok perempuan meyakini bahwa kerja dan upaya kedaulatan pangan sebenarnya membantu dalam persoalan pandemi. Terlebih bagi perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bertani, yang hasilnya untuk konsumsi.
Namun masalahnya, persoalan pangan dunia saat ini cukup parah karena pada dasarnya menerapkan monokultur, rantai pasok yang panjang, aksesnya tidak merata, dan dilakukan dengan deforestasi. Satu di antara program yang paling nyata adalah foodestate. Kondisi tersebut berdampak pada kondisi gizi buruk, malnutrisi, bahkan obesitas terjadi di Indonesia.
Semestinya, kata dia sistem pangan nasional dikembalikan pada konsep keberagaman nusantara atau menggunakan konsep ragam sumber pangan dan jalan pangan.
“Tidak mesti harus nasi, karena banyak sumber protein lainnya. Karena sesuatu yang monokultur itu tidak baik. Potensi krisis menjadi sangat besar, ini harus kita (perempuan) tangani,” ungkapnya.
Pengakuan dan penghormatan ragam jalan pangan menjadi kunci penting kedaulatan pangan. Hak masyarakat adat dan lokal terhadap pangan tidak bisa dipisahkan terhadap hak mereka terhadap lahan, teritori, sumber daya alam, dan kedaulatan diri.
“Memperbanyak inisiatif pertanian ramah lingkungan, agroforestry, analaog forestry berbasis rumah tangga. Konsolidasi praktik-praktik prosumsi kolektif dan berkelanjutan,” tutupnya.
Tulisan ini adalah bagian dari serangkaian program fellowship Citradaya Nita 2021 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).